Pemerintah terus mendorong kemampuan berwirausaha kepada siswa SMA agar menjadi kreatif dan mandiri. (Foto: Pexels)

Jakarta, bernesia.com – Pemerintah terus mendorong kemampuan berwirausaha kepada siswa SMA agar menjadi kreatif dan mandiri, serta mulai tergerak dan berani membuka usaha sendiri. Sejumlah sekolah pun berpacu menggali kreativitas, bahkan berani mengambil langkah lebih maju, bekerja sama dengan kampus hingga perusahaan.

Direktur Marketing & Customer Relationship, Universitas Prasetiya Mulya, Sagita Utama, Selasa (22/8/2023), mengungkapkan banyak sekolah yang berhasil menggali bakat para siswa melalui wadah tantangan proyek. Siswa ditantang untuk menggali inovasi dan kemampuan dalam mengembangkan produknya.

“Pembelajaran di SMA bisa saya katakan sudah lebih progresif, ini juga seiring dengan penerapan Kurikulum Merdeka. Salah satu poin di dalamnya, anak-anak SMA diminta untuk membuat proyek. Aspek dari topik proyek yang disorot itu adalah tentang kewirausahaan, itu yang dijalankan oleh anak-anak SMA dan benar-benar dilakukan,” kata Gita di Tangerang.

Melalui cara ini, para siswa SMA didorong untuk mengidentifikasi potensi ekonomi dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Jika proyek ini terus berlangsung di setiap masa pembelajaran, maka mental berwirausaha itu pun bakal semakin bertumbuh.

“Salah satu yang krusial adalah kemampuan untuk mengeksplorasi ide-idenya. Misalnya kita melihat banyak orang berbisnis kopi, tetapi apakah mereka dapat mengidentifikasi keunikan bisnis kopinya seperti apa. Ini yang perlu ditantang,” papar Gita.

“Dan saya banyak melihat produk anak-anak SMA ini mampu bersaing. Salah satu senjata mereka adalah kemampuan mengoptimalkan media sosialnya, dan ini penting dalam persaingan bisnis,” sambungnya.

Minat Semakin Tinggi

Sementara itu, Ketua Yayasan Guru Belajar, Bukik Setiawan, menilai bahwa minat pelajar sekolah hingga mahasiswa dalam kewirausahaan semakin tinggi belakangan ini. Salah satu penyebabnya adalah perkembangan teknologi dan media sosial, sehingga siswa bisa lebih mudah memasarkan produknya ke masyarakat luas.

“Ditambah sejak tiga tahun lalu sudah ada kurikulum Merdeka, di mana ada kewajiban pembelajaran berbasis proyek satu kali dalam satu semester. Ini sangat dekat dengan dunia wirausaha. Mereka menghasilkan karya yang bisa menjadi solusi atas permasalahan masyarakat, dan karya ini sangat berpotensi memiliki nilai bisnis,” kata Bukik.

Selain pengembangan bisnis, sejumlah SMA swasta juga mulai mengarahkan siswanya untuk belajar mengenal pekerjaan profesional melalui magang di perusahaan. Cara ini sudah lama berlangsung bagi siswa SMK. Sedangkan bagi siswa SMA, ini menjadi metode tepat untuk terjun langsung mempelajari dunia kerja.

“Tujuannya seperti mengenalkan profesi, mencakup cara kerja, lingkungan, supaya siswa SMA ini tahu kalau mau menjadi diplomat, akuntan, pengacara kerjanya seperti apa, dan apa saja yang perlu diperhatikan,” ujar Gita.

Apapun tujuannya, baik mengarah sebagai wirausaha maupun profesional, keduanya harus dikembangkan dalam wadah yang tepat. Gita mengaku banyak peluang dan ajakan dari sekolah untuk berkolaborasi dalam mengembangkan bakat-bakat siswa SMA ini agar semakin terasah.

“Kontribusi yang diharapkan dari kami adalah dukungan terhadap proses pembelajaran kewirausahaan di SMA, antara lain memberikan workshop tentang pembelajaran kewirausahaan buat para guru, sehingga para guru dapat memiliki wawasan kewirausahaan yang mumpuni,” sebut Gita.

Bukan hanya bagi guru, kontribusi yang dilakukan dapat pula melibatkan para mahasiswa Prasetiya Mulya pemilik bisnis agar ikut mendampingi proyek-proyek siswa SMA yang masih berkembang.

Perubahan Mindset

Ketika sistem pembelajaran sudah mendorong adanya perkembangan dalam metode pembelajaran, tantangannya justru ada pada tenaga pengajar. Banyak tenaga pengajar atau guru yang masih memiliki mindset lama, di mana pengajarannya berorientasi pada nilai dari penghafalan.

“Tantangan pertama ada pada perubahan mindset pendidikan. Dari berorientasi melahirkan lulusan dengan nilai angka yang tinggi menjadi berorientasi melahirkan lulusan dengan karya yang bernilai,” jelas Bukik.

Sedangkan tantangan kedua ada pada kesiapan guru dan kepala sekolah. Untuk menjalankan program kewirausahaan, butuh pemimpin dan guru yang mempunyai pengetahuan berdasarkan pengalaman berwirausaha.

Tidak ketinggalan, tantangan ketiga adalah kebiasaan melakukan asesmen sumatif berupa ujian terstandar. Program kewirausahaan butuh ujian yang komprehensif untuk menilai proses dan hasil belajar murid dalam berwirausaha.

“Kebanyakan sekolah masih menggunakan pengujian berstandar, yang satu jawaban benar. Ujian standar tidak salah, tapi kalau dia jadi satu-satunya alat ukur penilaian, itu jadi salah. Jadi bukan anti ujian standar, karena bagaimana mungkin keberhasilan wirausaha diukur dari ujian berstandar? Makanya assesment ini harus geser ke yang sifatnya komprehensif,” kata Bukik.

Adaptasi terhadap perubahan itu bukan pekerjaan mudah karena hingga kini sekolah yang serius dalam kewirausahaan masih relatif terbatas pada sejumlah sekolah unggul non akademik, khususnya yang menggelar pembelajaran berbasis proyek dengan penilaian yang komprehensif.

Untuk itu, Bukik dengan Yayasan Guru Belajar begitu aktif dalam mendorong adaptasi tenaga pengajar dalam sistem pendidikan terkini, khususnya dalam hal Kewirausahaan di Kurikulum Merdeka. “Kami melakukan pendampingan ke sekolah-sekolah bagaimana bertransformasi paradigma dan sistem untuk bisa online dengan Kurikulum Merdeka dalam konteks pembelajaran berbasis proyek,” kata Bukik.

Bukik menilai sekolah dan kampus dengan sistem pembelajaran berbasis proyek punya kekuatan langkah-langkahnya yang sistematis, logis berdasarkan data karena terbiasa menghadapi studi kasus, bukan hanya sekedar teori. Hal itu yang menjadi kekuatan kampus berbasis entrepreneurship untuk meningkatkan kualitas wirausaha kita. (red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *