Diskusi Industrial Talk yang digelar Master Program Prasetiya Mulya di Jakarta, pekan lalu.

Jakarta, bernesia.com – Dalam tujuh tahun terakhir, industri perbankan Tanah Air diramaikan dengan kehadiran 13 bank digital baru. Bank-bank digital itu bentukan perusahaan bank, perusahaan layanan jasa keuangan, maupun perusahaan teknologi finansial.

Jumlah itu pun akan terus bertambah. Karena dalam waktu satu tahun ke depan, setidaknya ada lima bank digital baru yang akan hadir. Persaingan kian ketat karena bank-bank konvensional pun mulai gencar menghadirkan aplikasi perbankan digital mereka.


Akselerasi kemunculan bank digital dan aplikasi digital dari bank konvensional, menurut ahli pemasaran sekaligus Wakil Rektor I Universitas Prasetiya Mulya, Prof. Agus W. Soehadi, didukung oleh situasi pandemi beberapa waktu lalu. “Terjadi shifting perilaku nasabah. Dari yang semula mengandalkan layanan bank di kantor cabang, kini mereka sudah terbiasa menggunakan layanan perbankan digital.” Hal itu dia sampaikan dalam diskusi Industrial Talk yang digelar Master Program Prasetiya Mulya di Jakarta, pekan lalu.


Selain faktor pandemi yang membuat masyarakat sulit beraktivitas di luar rumah, layanan perbankan digital juga terbukti lebih disukai nasabah. “Ada berbagai kelebihan bank digital, seperti layanan yang lebih efisien dan tidak perlu mengantre, sehingga lebih menghemat waktu. Selain itu waktu operasional bank digital juga relatif tak terbatas. Tersedia di mana saja dan kapan saja selama telepon seluler nasabah terhubung internet.”


Agus mengatakan, kebiasaan masyarakat menggunakan layanan bank digital ini akan terus berlanjut meski pandemi sudah berakhir. Sehingga prospek bisnisnya pun masih sangat menjanjikan. Terlebih, Indonesia memiliki populasi generasi muda yang sangat besar dan berpotensi menjadi nasabah bank di kemudian hari.

Namun, dengan ketatnya persaingan antar antar-bank digital maupun layanan digital bank konvensional, maka setiap perusahaan harus memikirkan strategi agar bisa bertahan dan tidak ditinggalkan nasabahnya. “Tantangan ke depan perusahaan bank digital adalah menangkap perubahan selera pasar. Ini titik kritisnya,” ujar Agus.

Kembali ke Selera Konsumen

Di era bisnis digital ini, ia melanjutkan, keputusan atas suatu produk atau layanan tidak lagi bergantung pada pemangku kebijakan di perusahaan. Justru, setiap keputusan terkait produk dan layanan harus kembali kepada selera konsumen. Karena, pada akhirnya konsumen yang akan menentukan apakah mereka akan setia menggunakan layanan bank tersebut. Atau beralih ke bank lain yang dianggap menawarkan ekosistem layanan yang lebih baik.


Agus menganalisa, pada akhirnya layanan bank digital akan mirip satu sama lain. Dengan kondisi demikian, bank harus memikirkan strategi untuk membuat nasabah bertahan.

“Cara lama seperti membakar uang untuk memberikan promosi atau benefit tertentu kepada nasabah sudah tidak terlalu efektif, dan tidak terlalu baik bagi keberlanjutan bisnis.” Untuk itulah, kemampuan perusahaan menangkap selera pasar saja tidak cukup. Kejelian itu perlu diterjemahkan dalam bentuk inovasi layanan dan produk.


Saat ini, kata Agus, bank-bank digital masih berkompetisi dengan menghadirkan ekosistem layanan dan produk yang lengkap demi memenuhi kebutuhan setiap segmen konsumen. Cara ini memang terbukti menarik minat konsumen.

Karena aplikasi bank digital akhirnya bisa memberikan layanan menyeluruh, mulai dari layanan reguler seperti rekening tabungan, pembayaran digital, maupun pembiayaan. “Beberapa bank juga sudah mengintegrasikan produk investasi dan dompet digital, sehingga nasabah mendapatkan pengalaman lengkap.”

Layanan dan Produk Terpersonalisasi


Ke depannya, menurut Agus, inovasi perbankan digital perlu diarahkan kepada layanan dan produk yang lebih terpersonalisasi. Sehingga nasabah pun akan merasa bank sangat memahami kebutuhan mereka. “Hal ini yang membuat nasabah akan loyal.”

Hal ini sangat mungkin dilakukan. Karena dibandingkan perusahaan bank konvensional, perusahaan bank digital bisa bergerak lebih luwes dan lincah dalam berinovasi dengan dukungan teknologi informasi. Apalagi saat ini ada teknologi kecerdasan buatan yang bisa dimanfaatkan untuk menganalisa perilaku konsumen.


Beberapa jenis layanan dan produk terpersonalisasi yang bisa dikembangkan bank, antara lain produk investasi yang disesuaikan dengan kondisi keuangan nasabah. Bisa juga semacam pengingat atau notifikasi atas transaksi rutin setiap nasabah. Atau sistem perencanaan keuangan yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan personal setiap nasabah. “Dengan begitu nasabah akan mendapatkan pengalaman yang lebih lengkap dan sesuai dengan profil mereka masing-masing.”


Peluang dan Tantangan Bank Digital


Direktur Digital dan Operasional PT Bank Raya Indonesia Indonesia Tbk, Bhimo Wikan Hantoro, sependapat dengan Agus. Menurut Bhimo, bank digital perlu memikirkan strategi akuisisi konsumen yang tepat. “Di perusahaan kami, hal terpenting adalah biaya untuk akuisisi konsumen ini harus jauh lebih rendah dibanding dengan customer lifetime value (CLV) kami.”

CLV sendiri merupakan indikator yang digunakan untuk menentukan nilai dari pelanggan sebuah perusahaan. Artinya, kata Bhimo, setiap investasi yang dikeluarkan untuk mengakuisisi konsumen harus menghasilkan penggunaan produk secara organik tanpa didorong oleh gimmick marketing yang berlebihan.


Sebagai sebuah perusahaan bank digital yang berada di bawah naungan grup bank besar—PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk—Bank Raya juga mengedepankan efisiensi dalam setiap lini operasional. Lebih dari 90 persen proses internal di Bank Raya, kata Bhimo, telah dilakukan secara terautomasi.

Dalam hal inovasi pun, ia melanjutkan, Bank Raya terus menghadirkan produk baru agar bisa memenuhi kebutuhan nasabah. Sepanjang 2021-2022, sebagai contoh, Bank Raya mengajukan 8 izin (produk baru) ke Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia. “Ini merupakan upaya kami untuk menangkap kebutuhan niche market yang berbeda dengan target pasar Bank BRI yang lebih massal. Dan kami menyadari bahwa kebutuhan niche market ini terus berubah sesuai perkembangan zaman.”


Hal lain yang membuat bank digital berbeda dengan bank konvensional adalah aspek costumer journey alias pengalaman nasabah saat menggunakan aplikasinya. Bhimo sepakat bahwa perusahaan bank digital harus mampu menghadirkan layanan dan produk yang sangat terpersonalisasi bagi para nasabahnya.

“Bank harus membuat nasabah merasa nyaman setiap kali berinteraksi dengan kami, baik melalui aplikasi atau saluran lain. Cara membuat nyaman mereka adalah dengan menyediakan layanan yang memahami kebutuhan setiap nasabah.”

Memperluas Penetrasi


Sementara itu, Head of Customer Engagement di PT Bank Jago Tbk, Lena Chow, menekankan bahwa kendati potensi pasar perbankan digital di Indonesia masih sangat besar, tantangan yang dihadapi industri ini juga cukup kompleks. Salah satunya adalah bagaimana bank digital memperluas penetrasi kepada masyarakat. “Kunci utama untuk memperluas penetrasi ini adalah dengan memperbanyak pengguna ponsel pintar terlebih dahulu.”


Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2022. Pengguna ponsel pintar di Indonesia baru sebanyak 192,15 juta orang atau 67,8 persen dari total populasi. Dari jumlah itu pun, kata Lena, belum semua pengguna ponsel pintar sudah memiliki kebutuhan perbankan digital.

Kebutuhan itu baru akan muncul jika masyarakat sudah mulai merasa nyaman dengan internet dan memiliki kebiasaan melakukan transaksi keuangan digital. “Karena itu, kehadiran bank digital sebetulnya bisa turut membantu meningkatkan literasi keuangan masyarakat Indonesia,” ujar Lena.


Hal tersebut bisa jadi peluang bagi perusahaan bank digital. Terlebih hampir 50 persen masyarakat Indonesia belum menjadi nasabah bank, baik digital maupun konvensional. “Kehadiran bank digital bisa mendorong peningkatan jumlah masyarakat yang terlayani oleh perbankan. Sifat bank digital yang fleksibel dan produk yang beragam juga bisa turut meningkatkan literasi keuangan masyarakat,” ujar Lena.

“Masyarakat bisa tahu bahwa layanan bank bukan hanya untuk menyimpan uang, tapi juga untuk memperoleh pembiayaan, investasi, dan lainnya.”


Menurut Lena, bank digital bisa memanfaatkan peluang dari kondisi tersebut dengan menyediakan ekosistem layanan menyeluruh bagi konsumennya. Selain untuk kebutuhan penyimpanan uang dan pembiayaan, masyarakat juga bisa memanfaatkan bank digital menjadi semacam alat mengelola keuangan.

Layanan semacam ini, kata dia, yang pada akhirnya bisa membuat nasabah bank digital mendapatkan pengalaman menyeluruh dan bisa menjadi nasabah loyal. (red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *