Jakarta, bernesia.com – Menyuarakan pentingnya segera beraksi untuk selamatkan bumi dari perubahan iklim tak lagi harus lewat kampanye mainstream dan suara keras. Lewat seni teater forum yang tak melontarkan satu kata pun, diskusi tentang krisis iklim bisa terjalin dengan seru. Kok, bisa?

Sebagai organisasi orang muda, Pamflet Generasi sering terlibat dalam berbagai diskusi dan diskusi itu terpaksa berakhir dengan kesimpulan. Padahal, karena tantangannya sangat pelik, diskusi soal lingkungan seharusnya menjadi diskusi yang tidak pernah berujung pada kesimpulan.

Hingga kemudian Garasi Performance Institute datang dengan gagasan teater forum. Format teater ini memungkinkan kita berdiskusi tanpa kata-kata, dan semua orang bisa berbagi pengalaman. Pamflet menguraikan, jika menggunakan kata-kata, suatu diskusi hanya akan diisi oleh orang yang terbiasa bicara. Sementara itu yang tak terbiasa bicara tak punya kesempatan untuk mengutarakan ide. Dengan menampilkan gestur-gestur tertentu, penonton bisa mendapatkan perspektif beragam yang kemudian bisa menjadi materi diskusi selanjutnya.

“Teater forum merupakan media baru untuk konsolidasi. Bentuk teater ini mampu mengungkap gagasan yang besar menjadi sesuatu yang sedikit lebih mudah dipahami, karena menyajikan visual tanpa kata-kata. Yang menarik, jika dalam teater biasa tamu hanya berperan pasif sebagai penonton, teater forum secara aktif melibatkan penonton (spect-actor) untuk juga mengekspresikan masalah baru dengan mengubah dan menambah adegan. Keterlibatan itulah yang menjadi bagian dari aktivisme,” kata N. Aidawardhani, perwakilan Pamflet, dalam keterangannya, Kamis (22/6/2023).

Ugoran Prasad, Associate Artistic Director Garasi Performance Institute, menjelaskan, pendekatan teater forum sebenarnya sudah lama digunakan oleh LSM, bahkan sejak tahun 80-an. Hanya saja, bentuknya kini telah mengalami banyak pembaruan, karena banyak terdapat hal baru dalam kehidupan, misalnya media sosial.

“Yang mengesankan, spect-actor dari beragam fokus aktivisme begitu intens ikut terlibat dalam teater. Mereka semua seperti sudah melihat bahwa krisis iklim merupakan isu penting yang harus menjadi pusat perhatian kita semua. Saya terharu merasakan energi positif dari semua penonton, yang bisa menemukan titik hubung antara aktivisme mereka dan isu lingkungan. Semoga teater forum bisa turut membangun jaringan baru untuk terus mendiskusikan dan mengimajinasikan apa saja yang selanjutnya bisa kita lakukan,” kata Ugo.

Menurut Hasdian Kharisma Priani dari Garasi Performance Institute, pendekatan teater forum berangkat dari aktivitas sehari-hari para aktornya. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk menentukan pose dan image, karena temanya dekat dengan mereka. “Lagu pengiringnya juga saya buat berdasarkan teks yang mereka berikan. Dan, saya salut pada para aktivis muda yang menjadi aktornya. Dalam waktu dua-tiga hari mereka bisa sangat cepat menangkap metode yang diberikan.”

Lewat persiapan relatif singkat, digelarlah Teater Forum: Sekutu Iklim pada Mei lalu, yang mengundang aktivis dari bermacam latar belakang. Kelima aktor utamanya merupakan para aktivis muda dari berbagai daerah yang peduli terhadap isu iklim. Mereka sepakat bahwa kesempatan berteater forum ini merupakan pengalaman ‘diskusi’ sangat menarik yang belum pernah mereka rasakan. Siapa sajakah kelima aktor tersebut? Yuk, berkenalan dengan mereka.   

Rina Seruyana
Relawan Youth Act Kalimantan

Berada di bawah atap Yayasan Ranu Welum, Youth Act Kalimantan merupakan perkumpulan pemuda adat yang sudah menyebar di berbagai titik di Kalimantan menjadi gerakan masif, yang jumlah relawannya mencapai 3.000 orang. 

Misi utama mereka adalah memberdayakan pemuda adat Kalimantan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Pemuda adat menjadi jembatan antara pengetahuan adat dan teknologi modern agar bisa berkembang dalam berbagai sisi, termasuk budaya, sosial, pendidikan, dan pemberdayaan sumber alam.

Rina melihat, dulu desa-desa di kawasan Barito selatan memiliki banyak penari. Tapi, sekarang seolah mati suri. Karena itu, Rina mengambil inisiatif untuk menjadi relawan guru tari bagi anak-anak desa, mendorong mereka agar mencintai budayanya.

“Selain itu, kami juga menghidupkan kembali perpustakaan tak layak pakai dan menyeleksi buku-buku yang masih bagus agar anak-anak mau belajar dan membaca buku,” kata Rina, yang pernah mencicip pengalaman berteater semasa sekolah.

Setiap tahun, lewat program The Heartland Project, Youth Act Kalimantan mengajak pemuda adat untuk menanam pohon di lahan bekas kebakaran hutan. “Sampai sekarang kami menyediakan bibit pohon, lalu kami bersama-sama menanam. Tak berhenti sampai di situ, kami juga melakukan tracking terhadap bibit yang ditanam. Jika ada pohon yang mati, kita harus ganti pohon tersebut,” kata Rina, yang juga belajar membuat film sebagai media advokasi.

Hutan menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya. “Meski sawit datang dan memberi penghasilan, jika hutan tidak ada, mereka tidak bisa hidup. Kalau sawit tidak ada, kami bisa tetap hidup,” kata Rina, yang berharap agar pemuda adat sadar akan identitasnya, sehingga mau mengembangkan budaya dan tradisi mereka sendiri.

Abizar Ghiffary
Inisiator Seangle Indonesia

Masalah mikroplastik rupanya tak hanya membahayakan hewan laut, tetapi juga mengancam kehidupan manusia. Abi bercerita, riset yang dilakukan Tim PKM-RE Program Studi Biologi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) mengungkap, mikroplastik juga terdeteksi pada hujan di DI Yogyakarta. Sementara itu, beberapa penelitian di Indonesia juga menemukan bahwa mikroplastik berakhir pada konsumsi manusia yang mengakibatkan timbulnya penyakit. Kontaminasi yang terus terjadi akan berdampak besar di kemudian hari.

“Kami ingin mencegah agar sampah plastik tidak menuju ke laut. Menurut kami, pendekatan masalah sampah di tiap daerah berbeda-beda. Perlu dilihat dari segi budaya dan level permasalahan. Kami sedang mencari formula tepat untuk diimplementasikan di seluruh Indonesia demi mencegah sampah plastik tidak menuju ke laut,” kata Abi, yang memandang teater forum sebagai cara kreatif untuk berdiskusi, sekaligus mendapatkan banyak perspektif.

Sebagian besar kegiatan Seangle Indonesia yang berbasis di Palu adalah penelitian. Misalnya, mengambil sampel sampah di bawah laut dan pesisir, lalu menggunakan data untuk melihat timbulan sampah di pesisir. Data tersebut dimanfaatkan untuk advokasi dan edukasi, mengajak orang terlibat langsung dalam mengatasi masalah sampah dan pelestarian lingkungan.

“Kami terjun langsung ke masyarakat, membuka semacam laboratorium mini yang dilengkapi mikroskop kecil untuk mengamati mikroplastik di sekitar mereka. Kami juga sedang fokus mengembangkan metode citizen science, yang memungkinkan warga untuk melihat sejauh mana area di sekitarnya telah terkontaminasi mikroplastik,” kata Abi, yang punya mimpi besar laut terbebas dari polusi plastik.

Sola Gratia Sihaloho
Perwakilan Tim Cegah Api, Greenpeace

Untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan, tugas Sola dan teman-temannya adalah memberikan edukasi tentang dampak buruk kebakaran hutan dan lahan. Itulah kenapa kebakaran perlu dicegah.

“Namun, saat terjadi kebakaran, kami juga terjun langsung untuk melakukan pemadaman. Aksi pemadaman ini merupakan bagian dari pencegahan agar tidak terjadi kebakaran yang lebih luas,” kata Sola, yang memang diberi pembekalan dan pelatihan khusus untuk memadamkan api.

Jika tidak ada kegiatan pemadaman, Tim Cegah Api memberikan edukasi dan sosialisasi ke sekolah. Menurutnya, karena kebakaran merupakan kejadian yang terus berulang, banyak orang yang menganggapnya remeh. Mereka merasa sudah biasa berhadapan dengan asap dan tidak merasakan gangguan kesehatan.

“Saat terjadi kebakaran, sekolah diliburkan, tapi ternyata siswa malah bepergian, menghantam asap tanpa mengenakan masker. Padahal, beberapa tahun mendatang mereka bisa saja mengalami masalah kesehatan paru-paru yang serius,” kata Sola, yang melihat teater forum sebagai tempat untuk berkampanye tanpa membuat satu pihak merasa tersinggung.

Sudah dua kali Sola merasakan kebakaran hutan yang hebat, yaitu 2015 dan 2019. Namun, ia menyayangkan, tidak ada televisi nasional yang memberitakan kejadian itu, sehingga tidak ada orang di luar Kalimantan yang tahu tentang masalah tersebut.

“Kami tinggal sangat jauh dari pusat pemerintahan, sehingga suara kami sulit terdengar. Tim Cegah Api ini menjadi wadah untuk menyampaikan kepada masyarakat di luar Kalimantan bahwa di sini memang benar-benar terjadi kebakaran,” cerita Sola, yang kala itu terus melakukan pemadaman tanpa ada istirahat atau libur.

Ayu Kusuma
Anggota individu WALHI Kalimantan Tengah

Lingkungan dan hak asasi manusia rupanya tak bisa dipisahkan. Ketika bicara hutan, kita tidak hanya bicara soal pohon dan satwa saja, melainkan juga masyarakat, terutama yang hidup dari hutan dan beraktivitas di sekitarnya. “Ketika mengkonservasi hutan dan orangutan yang hidup di dalamnya, namun memutus akses masyarakat yang sudah lama beraktivitas di situ, berarti kita melanggar hak asasi manusia.”

Karena itu, bersama WALHI, Ayu dan teman-temannya memastikan lingkungan terlindungi dan terpulihkan, sekaligus memastikan hak asasi manusia yang terlanggar akibat rusaknya lingkungan juga terpulihkan. Karena, ketika suatu lingkungan rusak, manusia juga ikut menderita. Dampaknya tidak terbatas pada masyarakat sekitar yang selama ini mengelola lingkungan tersebut.

Kegiatan WALHI lebih banyak pada pemberdayaan melalui pelatihan formal dan diskusi agar masyarakat memahami haknya. “Mereka harus tahu bahwa mereka mempunyai hak atas lingkungan, hak atas pengelolaan sumber daya alam, juga memahami hak-hak perempuan, hak-hak masyarakat adat. Ketika mereka sudah paham haknya dan fasih melafalkan, mereka akan berani maju berjuang untuk menuntut haknya,” kata Ayu, yang memandang teater forum sebagai bentuk diskusi berbeda, mengingat ia lebih banyak menggunakan kata dalam kesehariannya. 

Sementara itu, Ayu yang sedang berkuliah di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera bercerita bahwa lembaga tempatnya menuntut ilmu itu menyediakan ruang untuk belajar hukum dengan perspektif baru. “Saya belajar bahwa hukum negara bukanlah satu-satunya sumber hukum yang pasti benar. Kami diajak untuk bersikap kritis, saat melihat hukum dan kebijakan. Karena, kebijakan itu lahir dari suatu proses politik dengan berbagai kepentingan yang berkompetisi, sehingga sering kali kebijakan justru tak selalu bijak,” katanya. 

Novan Aji Imron
Advokasi dan Pengembangan Kebijakan, Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN)

Isu hutan terus berkembang. “Semua sepakat, hutan dan perubahan iklim merupakan isu yang penting. Dan, itu berarti kita juga bicara tentang inter generasi dan pentingnya keterlibatan anak muda. Inilah mengapa kami kemudian mengadakan sekolah sosial forestri dengan mengumpulkan anak muda baik yang tinggal di kawasan hutan maupun di kota,” kata Novan.

Dalam kelas, mereka diberi ruang untuk berdiskusi terkait permasalahan di hutan dan masyarakatnya selama kurang lebih tiga bulan. Hal ini membuat mereka tahu berbagai permasalahan di hutan sehingga mendorong mereka untuk peduli dan bergerak menjaga hutan. Hingga kemudian mereka terdorong untuk menciptakan inovasi. Novan bercerita, inovasinya bebas, tergantung pada keahlian masing-masing. Inovasi itu diharapkan bisa diterapkan di lingkungan mereka masing-masing atau menjadi platform yang umum.

“Orang muda di perkotaan mungkin tidak merasa terkait dengan hutan. Tapi, kami beri jembatan cerita bahwa yang paling merasakan perubahan iklim justru orang kota, misalnya merasakan panas dan sulit mendapat air bersih. Barulah kita masuk dengan cerita pentingnya hutan bukan hanya bagi orang desa, melainkan juga bagi orang kota. Ketika mereka diberi pemantik sedikit saja, hasilnya sangat powerful. Ada yang melontarkan inisiatif tentang sekolah alam, ada juga inisiatif game tentang hutan,” kata Novan, yang memandang bahwa teater forum membuka kesempatan yang luas untuk berdiskusi dengan orang-orang di luar lingkarannya.

 Pada 2045 LATIN menginginkan agar pengelolaan hutan sepenuhnya dikelola oleh masyarakat. Untuk mencapai tujuan itu, saat ini LATIN fokus mendokumentasikan dan meneliti praktik sosial forestri, sebuah gerakan untuk mewujudkan negeri wana kanaya sembada ‘wakanda’ atau hutan lestari, masyarakat sejahtera dan mandiri, serta desa modern. (red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *